STRESS merupakan respon individu terhadap tuntutan yang
dihadapinya. Tuntutan itu dapat dibedakan dalam dua bentuk, yaitu tuntutan
internal yang timbul sebagai tuntutan fisiologis, dan tuntutan eksternal yang
muncul dalam bentuk fisik dan sosial.
Hans Selye menambahkan bahwa tidak ada aspek tunggal dari
stimulus lingkungan yang dapat mengakibatkan stres, tetapi semua itu tergantung
dalam suatu akumulasi ancaman keseimbangan (homeostasis) individu. Selye
mengambangkan konsep yang dikenal dengan sindrom adaptasi umum (general
adaptation syndrome) yang menjelaskan jika seseorang kali pertama mengalami
kondisi yang mengancamnya,maka mekanisme pertahanan diri pada tubuh diaktifkan.
Kelenjar-kelenjar tubuh memproduksi sejumlah hormon seperti
adrenalin, kortisol, dan hormone-hormon lainnya yang berperan dalam proses
perubahan produk mental yang terjadi dalam sistem syaraf pusat.
Jika tuntutan-tuntutan berlangsung terus, mekanisme
pertahanan diri berangsur -angsur akan melemah sehingga organ tubuh tidak dapat
beroperasi dengan kuat. Jika reaksi-reaksi tubuh kurang berfungsi dengan baik,
hal ini merupakan awal dari munculnya penyakit “gangguan adaptasi”.
Penyakit-penyakit tersebut akan termanifestasi dalam keluhan-keluhan seperti
gangguan lambung, jantung, tekanan darah, dan keluhan-keluhan psikosomatis
lainnya.
Dampak dari stres yang parah adalah individu akan mengalami
disorganisasi dan kelelahan secara mental dan fisik. Lalu timbul pertanyaan;
apa yang terjadi ketika kita stres?
Menurut seorang peneliti yang bernama Bakker (1987), stres
yang dialami seseorang akan mengubah cara kerja sistem kekebalan tubuh. Para
peneliti menyimpulkan bahwa stres akan menurunkan daya tahan tubuh terhadap
serangan penyakit dengan cara menurunkan jumlah sel penghancur musuh alias fighting
disease cells. Akibatnya, orang itu cenderung sering dan akan mudah terserang
penyakit dimana kondisi sakit yang dialami cenderung lama masa penyembuhannya.
Mengapa? Karena pada hakikatnya tubuh mengalami kekacauan
sistem kekebalan tubuh yang ditandai dengan tidak aktifnya sel-sel limfosit
(salah satu jenis sel darah putih) dan tidak terbentuknya antibodi spesifik
terhadap anti gen mikroba patogen. Ada dua orang peneliti yaitu Plaut dan
Friedman (1981) berhasil menemukan hubungan antara stres dengan status
kesehatan seseorang. Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa stres sangat
berpotensi mempertinggi peluang seseorang untuk terinfeksi penyakit, terkena
alergi, dan menurunkan sistem pengenalan imunnya yang cenderung mendorong
terjadinya fenomena autoimun.
Selain itu ditemukan pula bukti bahwa penurunan respons
antibodi tubuh pada saat mood seseorang sedang negatif, dan akan meningkat pada
saat mood seseorang kembali positif. Peneliti lain, Dantzer dan Kelley (1989)
dalam hasil penelitiannya menunjukan bahwa adanya korelasi antara stres dan
status imunitas manusia.
Menurut Dantzer dan Kelley, pengaruh stres terhadap daya
tahan tubuh ditentukan oleh jenis, lama, dan frekuensi stress yang dialami
seseorang. Hasil penelitian lain mengungkapkan bahwa jika stres yang dialami
seseorang sudah berjalan sangat lama, maka akan terjadi kondisi letih health
promoting response. Lihatlah apa yang akan kita dapat apabila menjalani
kehidupan dengan penuh penyesalan dan mengisinya dengan segudang keluh-kesah;
setiap masalah yang datang tidak kita olah untuk menjadi bagian dari ibadah,
melainkan justru kita dorong dengan sengaja untuk menjadi tekanan jiwa yang
lama-lama tentu akan berbahaya, tentu bila kita menyadari bahwa pribadi yang
pandai bersyukur. Lebih parah lagi, malah mengupdate-nya setiap detik di jejaring
sosial seperti facebok.
Menumpahkan tekanan di media sosial sam sekali tidak sehat
secara psikologis. Ada banyak orang yang melihat betapa rapuhnya kita. Jadi
bisa jadi stress kita malah berlanjut di facebook
Oleh: Yudhistira Adi Maulana, Penggagas rumah sehat
Bekam Ruqyah Centre Purwakarta yang berasaskan pengobatan Thibbunnabawi.
No comments:
Post a Comment